Narasimu

Kembali jadi Polemik, Begini 3 Cara Sederhana Memahami Hukum Musik ala Majlis Tarjih Muhammadiyah

MOZAIKMU – Perbedaan pendapat soal hukum musik dalam Islam Kembali jadi polemik yang meramaikan linimasa. Pro kontra perkara fiqih ini pun sempat memanas, terutama setelah ada postingan salah satu netizen berhaluan salafi yang berani mengkafirkan Ustadz Adi Hidayat. Lalu bagaimana Muhammadiyah memandang hukum musik, begini cara sederhana memahami hukum musik ala Majlis Tarjih.

Silang-selisih pandang atau ikhtilaf soal hukum musik dalam Islam ini memang bukan perkara baru. Sebagian mengharamkan mutlak atau tanpa syarat, ini terutama dipegang teguh kalangan yang mengaku bermanhaj salaf, sebagian lagi menghalalkan dengan catatan-catatan. Seperti halnya hukum musik ala Majlis Tarjih yang juga bukan produk baru.

Namun demikian, polemik hukum musik akhir-akhir ini cukup meningkat tensinya dikarenakan banyaknya ustadz/mubaligh lain yang ramai-ramai menyerang Ustadz Adi Hidayat terkait salah satu konten video ceramahnya saat membahas tentang hukum musik, termasuk cara UAH menyederhanakan pembahasaan Surat Asy-Syuaro dengan istilah surat tentang musik. Penjelasan UAH sebetulnya hampir sama dengan pemahaman hukum musik ala Majlis Tarjih Muhammadiyah.

Banyak ustadz/mubaligh salafi yang mengkritik keras isi ceramah UAH itu. Bahkan yang paling fenomenal adalah postingan salah satu netizen yang diduga juga dari kelompok salafi, yang dengan jelas mengkafirkan Ustadz Adi Hidayat. Postingan inilah yang membuat kegaduhan soal pro kontra hukum musik ini makin memanas.

“Na’am telah tegak hujjah bahwasanya ngustadz Adi Hid*yat kufur atas beberapa poin sbb:”. Demikian narasi pembuka postingan netizen atas nama Maryono Al-Atsary di plaform media sosial Facebook seperti banyak beredar.

Poin dimaksud, antara lain; 1. Menghalalkan musik yang mutlak Alloh haramkan. Ini fatal karena berkonsekuensi kafir. 2. Menurunkan dan mengada-ada “surat musik” yang katanya ada di dalam Al-Qur’an. Ini sama saja mengaku sebagai nabi karena hakikatnya semua surat dan ayat Al-Qur’an telah Alloh turunkan kepada Rosulullaoh alaihi wasallam.

Postingan bernada takfiri ini dinilai terlalu provokatif, karena hanya memanaskan perdebatan khilafiah yang sebetulnya lazim dalam wacana pemikiran Islam. Pemuda Muhammadiyah dari Pimpinan Pusat sampai Wilayah juga ikut meresponnya. Bahkan PWPM Jateng melalui Bidang KOKAM dan SAR mengeluarkan surat instruksi tertanggal 7 Mei 2024 yang memerintahkan dilakukannya investigasi dan eksekusi terukur sesuai jalur hukum kepada netizen bernama Maryono Al-Atsary.

Sebagai ormas Islam modern yang juga memiliki lembaga fatwa keagamaan yakni Majlih Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah pun cukup aktif memberikan respon atas polemik di media sosial tersebut. Hukum musik ala Majlis Tarjih bukan persoalan baru di Muhammadiyah.

Terlebih, Ustadz Adi Hidayat sendiri notabene adalah Wakil Ketua I Majlis Tabligh PP Muhammadiyah. Tulisan ini karenanya akan memberikan panduan ringkas tentang cara sederhana memahami hukum musik ala Majlis Tarjih. Simak sampai tuntas ya, biar tak gagal paham.

Baca juga: Halalbihalal Muhammadiah Kota Pekalongan, Ketua PDM Singgung Isu Krisis Mubaligh sampai Polemik Musik

Cara Sederhana Memahami Hukum Musik ala Majlis Tarjih Muhammadiyah

Unsur Pimpinan Muhammadiyah Kota Pekalongan menyanyikan “Sang Surya” yang diiringi musik saat Rakerda Lazismu. Warga Muhammadiyah telah lama memedomani hukum musik ala Majlis Tarjih.

Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih sendiri sebetulnya telah lama mengeluarkan pandangannya soal hukum musik dalam Islam. Melalui ulasan ini kalian bisa memahami hukum musik ala Majlis Tarjih secara sederhana, anti ribet.

Dikutip dari portal tarjih.or.id, disebutkan bahwa sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah secara tegas tidak melarang kesenian yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, hanya saja dalam penerapan hukumnya ini memilih prinsip ikhtiyat atau amat berhati-hati.

Mengingat kesenian dan termasuk musikini secara klasifikasi fiqih masuk wilayah adat/budaya atau kebiasaan, maka Muhammadiyah memang tidak memberikan panduan yang bersifat praktis dan mendetail yang bisa dijadikan acuan seni/musik mana yang boleh dan mana yang dilarang.

Namun demikian, ada kaidah pokok yang bisa dipedomani bersama, yakni bahwa masalah hukum seni suara/musik ini berkisar pada illatnya, yakni sesuatu yang menjadi landasan atau alasan penetapan hukum. Illat dengan demikian adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal (pokok) yang digunakan sebagai dasar hukum.

Dari kaidah tersebut, hukum musik ala Majlis Tarjih Muhammadiyah merumuskan hukum seni/musik ini setidaknya dalam tiga klasifikasi hukum. Jika musik itu membawa kepada kebaikan atau keutamaan maka hukumnya sunah. Kedua, jika sekadar untuk main-main belaka atau tidak mementingkan apa-apa, maka hukumnya makruh.

Ketiga, hukum seni/musik ini bisa masuk klasifikasi haram apabila mengandung unsur negatif, serta membawa kepada maksiat.

Bagaimana, sudah ada gambaran belum soal hukum musik ala Majlis Tarjih? Kalau belum, ulasan dari Ustadz Dr. Ahmad Jalaluddin selaku Pleno PDM Kota Pekalongan yang mengkoordinatori Bidang Ketarjihan bisa menjadi cara sederhana memahami hukum musik ala Majlis Tarjih.

Salah satu hadits paling popular yang dijadikan dalil untuk mengharamkan musik adalah hadis sahih Bukhari nomor 5590. Begini potongan hadits dimaksud;

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari)

Terkait hadits ini, Ustadz Jalaluddin menjelaskan bahwa illat dari pegharaman musik di sini adalah jika itu terkait dengan zina dan khamr. Menurut dia, yang diharamkan mutlak dalam Al-Qur’an adalah zina dan khamr, sehingga musik dalam hadits ini disebutnya yang dimainkan para pezina dan peminum khamr.

Dalam konteks kekinian, penjelasan Ustadz Jalaluddin ini memang relevan dengan tempat-tempat tertentu, di mana ketiga perilaku ini bisa dilakukan bersamaan, baik zina, minuman keras, maupun musik. Tempat dimaksud yakni tempat hiburan yang memperturutkan nafsu dan syahwat.

Lebih lanjut Ustadz Jalaluddin menjelaskan, Majlis Tarjih Muhammadiyah berupaya melihat segala persoalan secara syamil (komprehensif) atau menyeluruh. Untuk menghukumi sebuah perkara, kata dia, harus dilihat dulu duduk perkaranya, apakah masuk dalam wilayah ibadah, muamalah, ataukah adat atau kebiasaan. Termasuk memahami hukum musik ala Majlis Tarjih.

Jika wilayah ibadah, kata dia, maka tidak ada kemungkinan kecuali mengikuti Al-Qur’an dan hadis secara apa adanya. Karena itu, setiap penambahan terhadap ibadah masuk kategori bid’ah.

Sebaliknya, jika terkait dengan masalah muamalah atau adat, maka pada dasarnya adalah boleh. Karena itu, jika dalam sebuah hadits Rasulullah mengharamkan sesuatu yang masuk wilayah muamalah atau adat ini, menurut Ustadz Jalulddin pasti karena ada illat atau sebab.

“Kenapa kok Rasul melarang musik, ada sebabnya. Kenapa Rasul melarang, padahal pada dasarnya boleh,” ungkap Ustadz Dr. Ahmad Jalaluddin dalam kesempatan Kajian Ahad Pagi di Masjid Darul Iman Kota Pekalongan, 12 April 2024 lalu.

Selain itu, dicari juga hadits-hadits yang lain yang terkait dengan masalah musik. Kata dia, ada beberapa hadits di mana Nabi Saw mengizinkan alat musik duf (semacam rebana).

“Dan ini bukan pengecualiaan. Karena setiap perbuatan yang haram mutlak, maka pengecualiaannya hanya dalam kondisi darurat. Kalau tidak darurat tetap tidak boleh, kalau haram mutlak,” tandasnya.

Dia mencontohkan khamr yang jelas haramnya (mutlak). Meskipun untuk pengobatan tetap tidak diperbolehkan, kecuali kondisinya memang darurat. “Daging babi haram, tapi dalam keadaan darurat boleh. Itu kalau haram mutlak, dan begitulah cara pandang Muhammadiyah, dilihat dulu apakah masuk ibadah, muamalah, atau adat,” terang Ustadz Jalaluddin.

Ketiga, dalam masalah ijtihad dikenal pula taufiqi, yakni menggabungkan atau memadukan (sinkronisasi) antara satu hadits dengan hadits yang lain, antar satu ayat dengan ayat yang lain, antara ayat dengan hadits. Ini juga dipedomani dalam penetapan hukum musik ala Majlis Tarjih.

“Dengan metode taufiqi ini, maka tidak boleh ijtihad itu dilakukan secara parsial sebagian ayat Qur’an, mengabaikan sebagian yang lain. Memperhatikan sebagian hadits, mengabaikan sebagian hadits yang lain. Inilah manhaj tarjih,” kata dia.

Berkaitan dengan penyebutan surat/ayat musik terhadap QS. As-Syuaro, Ustadz Jalaluddin pun menyebutnya tak sepenuhnya salah. Menurutnya, orang harus membedakan antara penggunaan atau makna syair dalam Bahasa Indonesia dengan tradisi di Arab yang memiliki karakteristik tersendiri.

“Syair dalam tradisi Arab itu pasti ada iramanya,asti ada nadanya. Itu bait-bait, nadzom-nadzom di dalam kitab-kitab misalnya kitab Alfiyah itu, Ketika dibaca ada iramanya. Makanya kalua syair dalam Bahasa Arab ya syair ya musik. Jadi tidak terlalu salah (pernyataan UAH),” jelasnya.

Dalam kesempatan ini, Ustadz Ahmad Jalaluddin juga menyampaikan bahwa cara pandang sebagian umat Islam dalam memahami Al-Qur’an dan hadits yang parsial, cenderung tekstual, bukanlah hal baru.

Sebab di masa sahabat pun cara pandang demikian telah ada, yakni pada diri kelompok Haruriyah yang tinggal di Harura. Kelompok inilah yang disebut sebagai Khawarij, yang memberontak terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. (sef)

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button