Muhammadiyah Anti Budaya? Jangan Gagal Paham, Baca Dulu 4 Definisi Fiqih Kebudayaan ala Kyai Cepu
MOZAIKMU – Stigma Muhammadiyah anti budaya masih sayup-sayup terdengar di percakapan muslim Indonesia saat ini. Lantas bagaimana sebetulnya Muhammadiyah memandang aspek budaya dan kebudayaan serta relasinya dengan Islam, konsep inilah yang coba dihadirkan dalam definisi Fiqih Kebudayaan ala Kyai Cepu.
Ya, Kyai Cepu hadir dalam Kajian Pimpinan Muhammadiyah Kota Pekalongan dan Peresmian Kantor Lazismu Kota Pekalongan dalam rangka semarak Milad Muhammadiyah ke-112. Selama lebih dari satu jam, lulusan studi Doktoral Sastra dari Rusia ini mencoba menjawab secara ringkas dan padat apakah Muhammadiyah anti budaya.
Kegiatan ini dihadiri jajaran Pleno PDM Kota Pekalongan, Ketua dan Sekretaris Unsur Pembantu Pimpinan (UPP) PDM, Pleno PCM se Kota Pekalongan, Pleno Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Pekalongan beserta jajaran, Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM), PD Nasyiatul Aisyiyah, PD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), PD Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Hizbul Wathan, Tapak Suci, jajaran Manajemen Lazismu Kota Pekalongan, dan yang lainnya.
Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Imam Besar Masjid Al-Ihsan Kraaton, Ustadz Ashof Ulinuha Fuadi, yang membaca QS. Ali Imran ayat 4-5 dan An-Nahl ayat 125, lalu dilanjut sambutan oleh Sekretaris PDM Kota Pekalongan, Aslam Fatkhudin S.Kom., M.Kom., yang mewakili Ketua PDM Dr. M. Hasan Bisysri, M.Ag. yang berhalangan hadir karena sakit.
Dalam sambutannya, Aslam menukil stigma yang kadang dilekatkan pada Muhammadiyah, yakni bahwa Muhammadiyah anti budaya. Stigma ini menganggap Muhammadiyah memiliki pandangan dan sikap yang berjarak dengan segala hal yang berbau tradisi dan budaya.
“Lalu bagaimana sebetulnya warga Muhammadiyah memandang budaya yang sesuai syariat, dan sebagainya, maka malam ini kita hadirkan Kyai Cepu. Monggo nanti Pak Kyai bisa membuka wawasan ini seluas-luasnya,” ujar dia.
Menurut akademisi UMPP ini, stiga Muhammadiyah anti budaya menjadi relevan didikursuskan kembali di tengah perubahan sosial yang memungkinkan warga Muhammadiyah bisa berinteraksi secara global di ruang-ruang digital. Aslam menyebut platform digital seperti media sosial memungkinkan berbagai identitas, paham, cara pandang saling berinteraksi dan berdialektika dengan masifnya.
“Maka warga Muhammadiyah juga perlu memahami persoalan ini, minimal bisa menjawab apakah Muhammadiyah anti budaya. Terlebih, di era kepemimpinan Pak Tafsir, Muhammadiyah Jawa Tengah menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap budaya. Sesuatu yang sebelumnya mugkin tabu, seperti Muhammadiyah bersholawat, wayangan, dan lainnya,” jelas Aslam.
I Baca juga: Tak Ada Kata Lelah! Inilah Agenda Dakwah KH Ahmad Dahlan pada 1922, Setahun Sebelum Wafat
Menjawab Stigma Muhammadiyah Anti Budaya
Bagaimana Islam memandang budaya, relasi keduanya, hingga sandaran teks agama dari Al-Qur’an, hadis sampai ushul fiqh, sejatinya bukanlah hal baru dalam diskursus pemikiran Islam.
Namun demikian, tema ini menjadi sesuatu yang baru di kalangan warga Muhammadiyah, yang selama ini dikenal tak banyak berimajinasi dalam hal-hal yang terkait aqidah dan ibadah. Karena itu, stigma Muhammadiyah anti budaya juga selama ini tak banyak direspon oleh warga Persyarikatan.
Untuk menyebut salah satu tokoh yang concern dengan tema ini, Kyai Cepu adalah orangnya. Alih-alih menjawa langsung pertanyaan apakah Muhammadiyah anti budaya, Kyai Cepu justru mengajak audiens untuk menyimak latar kronologis yang membuatnya memperkenalkan konsep Fiqih Kebudayaan di Muhammadiyah.
Sebagai perjalanan pemikiran, Fiqih Kebudayaan ala Kyai Cepu ini pertama kali diperkenalkan saat ia diundang PDM Bantul untuk mempresentasikan pemahamannya. Atas permintaannya, PDM Bantul bahkan menghadirkan salah satu Begawan Majlis Tarjih, Dr Syamsul Anwar untuk menjadi pembanding.
Namun harapan Kyai Cepu atas terjadinya perdebatan ternyata nihil. Pemikirannya tentang Fiqih Kebudayaan, termasuk menjawab stigma apakah Muhammadiyah anti budaya, faktanya diterima penuh oleh semua.
Pun ketika ia selanjutnya memenuhi undangan Sekum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti untuk mempresentasikan Fiqih Kebudayaan di acara pengajian yang dihadiri banyak tokoh Muhammadiyah, lagi-lagi konsepnya diapresiasi.
“Mereka bilang keren fiqih kebudayaan ala Kyai Cepu, tapi mereka weling, karena banyak warga Muhammadiyah yang cara berpikirnya masih konservatif. Ya saya tidak masalah, justru biar ramai,” terang dia.
Fiqih Kebudayaan ini menurut Kyai Cepu semakin mendapat ruang di khazanah Muhammadiyah saat Muktamar 48 Muhammadiyah di Solo yang menelurkan 7 agenda prioritas Muhammadiyah 2022-2027. Di mana agenda nomor 3 yakni memperkuat dan memperluas dakwah di akar rumput.
“Kata Prof Haedar, pendekatan dakwah Muhammadiyah harus berubah, karena itu Muhammadiyah mesti menggunakan simbol-simbol Muhammadiyah di akar rumput, biar mudah diinget, mudah dihafal,” jelas Kyai Cepu.
Tahun 2022, Kyai Cepu juga membuat geger setelah menggelar Muhammadiyah Bersholawat di Gedung PP Muhammadiyah bersama DPP IMM dengan acara inti memaparkan Fiqih Kebudayaan. Puncaknya adalah di November 2023 di forum Rakernas LSBO di UNY, Kyai Cepu Kembali dipanel dengan Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyah beserta Bidang Fatwa Majlis Tarjih, dan lagi-lagi konsep Kyai Cepu diterima.
Maka sejak saat itu, Fiqih Kebudayaan ala Kyai Cepu dipresentasikan di berbagai daerah di Indonesia. Penjelasan ini juga cukup meenjelaskan stigma apakah Muhammadiyah anti budaya atau tidak.
I Baca juga: Hukum-Musik-ala-Majlis-Tarjih
4 Definisi Fiqih Kebudayaan ala Kyai Cepu
Secara konsep, Fiqih Kebudayaan yang dikampanyekan Kyai Cepu mencakup empat aspek definisi. Pertama, hubungan agama dan budaya. Kyai Cepu pun mengutip sejarah Rapat Tahunan I (Muktamar, red) Muhammadiyah di tahun 1913. Saat itu acara dibuka dengan Panembromo, semacam kidung Jawa.
Berikutnya pada 1927, Muhammadiyah menerbitkan Tafsir Al-Fatihah dengan aksara Jawa. Dan banyak kisah Muhammadiyah di fase awal yang menunjukkan kemesraannya dengan budaya Jawa.
“Sebagian besar kyai, ustadz, mubaligh, dan orang-orang Muhammadiyah memandang agama dan budaya tidak bisa disatukan, karena agama itu dari Tuhan, sementara budaya adalah produk manusia. Ini pendapat yang terbanyak,” jelas dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Pendapat kedua soal hubungan agama dan budaya, yakni bahwa agama dan budaya mustahil bisa dipisahkan.
“Saya termasuk yang sependapat dengan pandangan kedua ini. Lalu, apa dalilnya?” tanya Kyai Cepu.
Ia pun mengutip sebuah kaidah ushul fiqih yang mayshur:
مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Perkara wajib yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka perantara itu menjadi wajib.”
Kyai Cepu pun mencontohkan perkara wajib itu dalam ibadah salat. Sementara salat wajib menutup aurat, sehingga kain menjadi wajib.
“Dan kain adalah produk budaya, ini contoh kecil budaya,” lanjutnya.
Kaidah kedua:
الْوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ
“Sarana-sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya.”
Sarana yang mengambil hukum tujuannya itu antara lain pada ibadah haji. Begitu pula dalam ibadah sosial. “Dan getek, perahu, kapal, pesawat itu produk budaya. Begitu pula wudhu dengan air. Jadi, hubungan agama dan budaya mustahil dipisahkan,” bebernya.
Dari penjelasan aspek pertama ini, Kyai Cepu seolah ingin menegaskan bahwa stigma Muhammadiyah anti budaya adalah tidak ahistoris.
Kedua, kedudukan tradisi dalam agama. Islam dibawa Rasulullah di tengah masyarakat Arab yang telah memiliki tradisi kuat. Sebagian tradisi itu tidak dihapus oleh Nabi, melainkan diganti isinya.
“Aqiqah itu sudah dikenal dalam tradisi Arab sebelum Rasulullah, maka ia dipertahankan dengan merubah isinya. Bentuknya dipertahankan, isinya dirubah menjadi Islam. Kalau sebelum Islam darah sembelihkan diteteskan di kepala bayi, setelah Nabi diganti minyak wangi. Maka Tindakan Rasulullah ini bisa disebut islamisasi,” kata Kyai Cepu.
Begitu pula dengan tradisi di Jawa pra Islam, di mana masyarakat mempraktikkan tradisi Hindu, termasuk soal upacara kematian dan selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, sampai 1.000 hari.
“Upacara itu dalam keyakinan Jawa Hindu bertujuan untuk memenangkan ruh supaya dapat ampunan dan bisa naik ke surga. Nah saat Walisongo datang, bentuknya dipertahankan tapi isinya dirubah, diislamisasi dengan tahlil, maka disebut tahlilan. Inilah qiyas, kalau di tradisi Tarjih ini masuk kategori Bayani,” urai dia.
Menurut dia, tahlilan boleh sejauh maknanya bertahlil. Tetapi ia menjadi haram jika yang mengadakan adalah orang miskin yang sampai terbebani hutang hanya untuk menyelenggarakan tahlilan.
“Dan tahlil ini bukan ibadah mahdhah, ibadah khusus yang diatur cara, bacaan, jumlah, waktunya. Menambah atau mengurangi tidak boleh, itu bid’ah. Tapi dalam ibadah umum, itu tidak bid’ah,” lanjut Kyai Cepu.
Ketiga, hukum seni dalam Islam. Menurut Kyai Cepu, meski ada indikasi ayat Al-Qur’an yang mengaharamkan musik, namun ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sementara ada Tindakan Nabi yang juga menunjukkan bahwa musik itu boleh.
“Masalahnya kita mau memahami teks atau konteksnya. Nah untuk memahami konteks, maka tengok asbabun nuzulnya. Jadi, ada orang kafir Quraisy yang ingin bertanya ke Nabi tentang Islam, karena ingin tahu yang sebenarnya. Tetapi ia dihalangi orang-orang Quraisy yang lainnya, lalu diajak ke tempat hiburan, nyanyi-nyanyi supaya tidak menemui Nabi, sehingga Allah meresponnya dengan menurunkan Qur’an Surat Luqman ayat 6,” jelasnya.
Lanjut Kyai Cepu, hukum haram itu terbagi dua, yakni haram karena zatnya dan haram karena illat (sebab). Dalam konteks asbabun nuzul hukum musik di atas, maka ia masuk kategori haram karena sebab.
“Kalau musik liriknya menghujat dan menghina Nabi seperti orang-orang Quraisy tadi ya haram, tetapi kalau liriknya menggugah orang pada kebaikan, seperti Sang Surya, maka itu boleh,” ujarnya.
Penjelasan Majlis Tarjih soal hukum musik juga menepis pandangan yang menganggap Muhammadiyah anti budaya.
Keempat, budaya berpikir Muhammadiyah. Apa beda budaya berpikir Muhammadiyah dengan Salafi misalnya, tanya Kyai Cepu. Titik pisahnya yang mendasar menurut dia berpangkal pada cara atau budaya berpikir, di mana Salafi cenderung tekstual, memahami teks agama apa adanya, sementara Muhammadiyah cenderung kontekstual.
“Berpuasalah kamu saat melihat hilal, itu dalil teksnya. Maka harus dilihat dengan mata, tetapi Muhammadiyah melihat dengan ilmu pengetahuan, inilah kontekstual,” terangnya.
Kyai Cepu menyebut Muhammadiyah bukanlah Gerakan fiqih, melainkan Gerakan dakwah. Sebagai Gerakan dakwah, Muhammadiyah karenanya tidak terjebak hanya pada hukum halal haram khas Fiqih yang saklek, melainkan ada narasi dalam memahamkan teks agama.
Sebagai Gerakan dakwah, Muhammadiyah tidak boleh kaku, harus adaptif dan paham konteks. Karena itu, stigma Muhammadiyah anti budaya tidak sepenuhnya tepat.
Kajian pimpinan ini pun dituntaskan Kyai Cepu di jam 22.00 WIB. Kegiatan yang dipandegani Majlis Tabligh dan Dakwah Komunitas PDM Kota Pekalongan ini juga disupport UPP serta Ortom Daerah lainnya. Termasuk kesiagaan personel Kokam yang dalam mengamankan acara sampai mengatur area parkir sampai selesainya acara. (sef)
I Baca juga: Inilah Pencetus Deklarasi Djuanda, Tokoh Muhammadiyah yang jadi Perdana Menteri Indonesia ke-11