Jelas! Inilah Sikap Muhammadiyah Terhadap Pemberdayaan Perempuan? Simak 4 Penjelasan Berikut!
MOZAIKMUPEKALONGANKOTA.COM – Emansipasi masih menjadi isu aktual bagi perempuan, lalu bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan? Melihat rekam jejak Muhammadiyah sejak didirikan, maka sebetulnya cukup menjawab pertanyaan ini.
Sudah jelas bahwa sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan adalah mendukung agar mereka terus meningkatkan kapasitas diri lewat berbagai macam cara.
Perempuan harus memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk bisa mengarungi segala macam tantangan yang ada. Untuk bisa seperti itu, mereka harus diberikan akses seluas-luasnya terhadap pendidikan, sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tanpa usaha seperti itu, perempuan menjadi sangat rentan.
Sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan bisa dilihat dari pendirian organisasi Aisyi’yah. Organisasi yang fokusnya meningkatkan nilai perempuan agar tak rendah di mata laki-laki.
Muhammadiyah mengikuti dasar Al-Qur’an yang menyatakan kalau laki-laki dan perempuan itu sama haknya. Begitu juga memiliki kewajiban yang sama.
Tidak ada yang lebih tinggi daripada keduanya. Melakukan pemberdayaan perempuan, artinya sama saja menegakkan perintah Allah. Seperti yang dijelaskan pada al~Qur’an Surat At-Taubah ayat 71-76.
I Baca juga: Mengenal Sosok Salmah Orbayinah, Perempuan Hebat Ketua Umum PP Aisyiyah 2022-2027
Tantangan Pemberdayaan Perempuan
Dalam usaha memberdayakan para perempuan menjadi agak sulit ketika lingkungan sekitar masih memegang prinsip patriarki. Bahkan di masa sekarang pandangan seperti merendahkan perempuan tak jarang kita temui.
Hal ini menjadi susah untuk menegakkannya. Untuk itu sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan bertujuan menguatkan semangat perjuangan bersama.
Meski salah satu pendiri Muhammadiyah harus mendapatkan cemoohan karena sikapnya tersebut. Kiai Ahmad Dahlan mengkritik pemahaman dan konsep patriarki yang masih kental saat itu.
Muhammadiah merupakan organisasi Islam yang cukup mapan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Tentu saja agar nilai kebermanfaatannya semakin tinggi.
Dibantu istri Nyai Walidah, akhirnya mengembangkan bagaimana organisasi yang bisa memberdayakan perempuan secara organisasi.
Kiai Ahmad Dahlan dan istrinya melawan penyempitan peran perempuan dalam kehidupan ini meski harus berhadapan dengan masyarakat yang jumud kala itu. Sehingga ide-ide pemberdayaan perempuan dimusuhi.
Perempuan Harus Mengenal Dirinya Sendiri
Tanpa tahu tentang dengan diri sendiri, perempuan akan terus menjadi manusia berguna. Sebab hidup tanya tujuan dan misi yang jelas.
Cara yang bisa dilakukan adalah terus belajar. Ikuti pengajian atau pendidikan perkembangan diri. Baik pendidikan formal maupun non formal bisa membantu perempuan mengenal dirinya sendiri.
Sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan sudah dilakukan di kampung halamannya Kauman Yogyakarta. Sang istri Nyai Walidah terjun ke ranah sosial kemasyarakatan.
Beragam Usaha yang Dilakukan Muhammadiyah
Sebelum terbentuknya organisasi yang fokusnya di isu keperempuanan, Muhammadiyah telah melakukan berbagai usaha pemberdayaan. Tahun 1911 Muhammadiyah mendirikan madrasah Diniyah untuk pertama kalinya. Lalu dari situ mengajak para tetangga untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Pada tahun 1913 atau setelah Muhammadiyah berdiri, para gadis perempuan disarankan untuk ikut sekolah Belanda Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Kala itu ada tiga perempuan yang mau bersekolah yaitu Siti Bariyah, Siti Wadingah dan Siti Dawimah.
Tahun 1914, KH Ahmad Dahlan dan istrinya Nyai Walidah mengadakan kursus-kursus agama atau pengajian khusus untuk kaum perempuan yang dilaksanakan sesudah waktu ashar diberi nama Wal’asri, kursus itu diikuti pula oleh siswi-siswi Sekolah Netral Belanda.
Siti Badriyah Menjadi Ketua
Waktu terus berjalan dan sikap Muhammadiyah terhadap pemberdayaan perempuan semakin nyata. Muhammadiyah memandang bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin. Perempuan bahkan sah-sah saja bila menjadi pemimpin negara.
Meski sebuah hadits menyatakan kalau sebuah urusan dilimpahkan perempuan tidak akan beruntung. Tapi bagi Muhammadiyah hadist tersebut kontekstual atau didasarkan pada situasi tertentu.
Dari pemahaman itulah muncul gagasan untuk mendirikan organisasi keperempuanan. Tujuannya untuk melatih dan mendidik mereka jadi pemimpin.
Maka lahirlah Organisasi Aisyi’yah yang bertepatan dengan Isra’ mi’raj nabi Muhammad Saw. Ketua pertama kali saat itu adalah Siti Badriyah.
Fokusnya pada peningkatan kesadaran gender melalui sosialisasi dan pengajaran, kesadaran bahwa perempuan memiliki hak di ranah public dan kompetensi yang sama dengan laki-laki. Serta pemberian ketrampilan kerja agar kesejahteraan ekonomi meningkat.
Peran fungsinya sederhana yaitu memiliki amal usaha di berbagai bidang seperti pendidikan, kewanitaan, PKK, kesehatan dan organisasi perempuan.
Tujuannya bukan untuk menciptakan kader-kader perempuan yang shalihah secara ritual (fiqhiyyah), tapi juga bisa menganalisa segala tantangan yang ada.
Itulah Sikap Muhammadiyah Terhadap Pemberdayaan Perempuan. Sikapnya konsisten dalam memajukan bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (ful)