H-5 Menuju Ramadhan 1445 H, Sudahkan Merasakan Aroma Puasa?
TIDAK terasa, tahu-tahu sudah mau puasa. Ini ungkapan yang terkesan klise, tetapi sebetulnya sulit dibantah kebenarannya. Sama seperti apa yang akan diulas dalam tulisan ini, “H-5 Menuju Ramadhan 1445 H, Sudahkan Merasakan Aroma Puasa?”
Dulu saat anak-anak, mungkin sampai remaja, kita mungkin merasakan nikmatnya berpuasa karena rasa-rasanya waktu bergerak begitu lambatnya. Detak jarum jam seperti kalah cepat dari detak jantung yang berpacu menanti waktu maghrib.
Kini setelah dewasa, sebagian mungkin mulai menua, kita menjadi mafhum, bahwa waktu memang bersifat relatif. Toh durasi kita berpuasa juga tak beda kan, kurang lebih 14 jam, sejak fajar sampai maghrib. Tetapi yang dirasakan sekarang dengan saat kecil dulu kok terasa berbeda lama puasanya. Apakah nilai waktu juga mengalami inflasi?
Loh loh loh, kok ujug-ujug bahas inflasi? Jangan-jangan mau mengkritik pemerintah ini gara-gara harga komoditas pokok yang istiqomah naik, sampai lupa turun.
Seorang tetangga, sebut saja Sutadin, seorang pengayuh becak yang setia. Ia pernah bercerita tentang temannya yang seorang buruh pabrik, gajinya cukup untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Tetapi itu setahun lalu, kini istrinya yang dulu hanya ibu rumah tangga, mendadak bekerja, karena gaji suami tak cukup untuk satu bulan.
“Padahal gajinya masih sama, tidak turun, pengeluarannya juga sama saja, tapi kok gak cukup. Akhirnya sang istri berinisiatif minta izin bekerja, membantu menambah penghasilan biar dapur bisa ngebul setiap hari….”
Gajinya sama, artinya nominal uangnya sama. Tapi kenapa sekarang tak cukup untuk sebulan, padahal setahun lalu masih cukup. Inilah inflasi, saat nilai uang mengalami penurunan.
“Duit satus ewu saiki gak ono ajine blas…Kagak nyandak untuk sehari, padahal beberapa bulan kemarin masih nyandak, gaes.” Begitu celoteh Kang Warso di pos ronda.
Baca juga: MBS Putri Taruna Krapyak Go to Olympicad 7 Bandung, Saatnya Pondok Peradaban Bersaing dalam Kebaikan
Menuju Ramadhan 1445 H, Sudahkah Merasakan Aroma Puasa?
Konon, salah satu tanda akhir zaman adalah ketika waktu bergulir lebih cepat. Sama seperti kasus di atas, di mana lamanya puasa terasa lebih cepat, dulu saya menduga hadits Nabi Saw. tersebut lebih untuk dimaknai secara kualitatif alih-alih berpikir konsep waktu mengalami devaluasi.
Tetapi konon (karena saya belum bisa mengonfirmasi kebenarannya), beberapa ilmuwan justru sudah menghitung soal kemungkinan gerak gravitasi maupun rotasi bumi yang akan bertambah cepat. Penyebabnya ya karena mekanisme alam.
Nah, kembali ke bahasan menuju Ramadhan 1445 H, kembali ke pertanyaan; sudahkan Anda merasakan aroma puasa? Sebetulnya, ini lebih sebagai ilmu titennya para orang-orang tua terdahulu. Bahwa menjelang datangnya bulan Ramadhan, kita sudah bisa merasakan aroma puasa. Kata almarhum Emak, ini kode alam!
Sesuai penerawangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), akhir Februari semestinya masih musim hujan, bahkan sebagian wilayah masuk masa puncak. Masih kata BMKG, musim hujan juga semestinya masih berlangsung sampai Maret, cuaca ekstrem masih mengancam sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Jawa Tengah, sampai 8 Maret 2024.
Tapi faktanya, sejak akhir Februari, bahkan sebelum itu, cuaca di siang hari lebih sering panas menyengat dan bikin gerah. Bahkan meski sesekali Kota Pekalongan diguyur hujan.
Seperti hari ini, Rabu, 6 Maret 2024, terik matahari sudah menyengat tajam sejak pagi. Puncaknya di tengah hari, mulai zuhur sampai ashar, panasnya benar-benar nikmat. Tidakkah ini anomali? Bahwa cuacanya panas menyengat meski masih di musim hujan.
Inilah yang dikatakan orang-orang tua dulu sebagai merasakan aroma puasa sebelum bulan puasa benar-benar tiba. Nah, ternyata apa yang disebut dengan aroma puasa ini juga relate dengan asal usul kata Ramadhan. Karena secara etimologi, ramadhan bisa bermakna panas yang menyengat, atau bisa juga membakar.
Bangsa Arab sendiri telah mengenal perhitungan bulan, meski belum ada konsep tahun. Jadi, yang hari ini kita kenal sebagai bulan-bulan hijriyah itu juga sudah dikenal orang-orang Arab sebelum Rasulullah Saw. Yang dilakukan oleh Khalifah Umar yang menetapkan tahun hijriyah, adalah membuat patokan tahun. Setelah berdialektika dengan para sahabat, akhirnya ditetapkan peristiwa hijrahnya Nabi dan pengikutnya sebagai tonggak awal tahun hijriyah.
Kembali ke bangsa Arab, mereka dengan demikian telah mengenal bulan Ramadhan. Dinamakan Ramadhan karena di bulan inilah cuaca Arab sedang panas-panasnya. Jadi, saat kita merasakan panas menyengat di siang hari bulan Ramadhan, itu artinya kita sedang merasakan aroma puasa. It’s Ramadhan’s Vibe.
Jadi, merasakan aroma puasa menjelang Ramadhan 1445 H ini artinya merasakan gejala alam menyambut Ramadhan. Setidaknya begitulah kata orang-orang tua terdahulu. Benar tidaknya, kembali kepada kepercayaan Anda. Tetapi kalaupun senyatanya sering begitu, kita bisa ambil hikmahnya, bahwa anggap saja Allah sedang mempersiapkan tubuh kita, imunitas kita, agar tak kaget saat Ramadhan 1445 H nanti benar-benar tiba, dan kita wajib berpuasa di siang yang panas menyengat. Bahkan meski sengatannya sampai ke ubun-ubun dan hati hingga mudah memicu emosi, anggap saja Tuhan sedang menguji, agar nilai ibadah puasa kita lebih tinggi.
Selain cuaca, ada lagi cara merasakan aroma puasa. Kalau ini ilmu titennya emak-emak, atau bisa juga bapak-bapak yang suka sidak ke pasar. Nah, tanda kedua ini terkait dengan soalan inflasi yang disinggung di awal. Ya betul, harga-harga komoditas pokok mendadak serempat naik.
Kali ini, yang paling mencolok adalah beras, yang meski sudah naik sejak setahun lalu, belakangan kembali naik cukup menggelikan. Beras jenis medium yang dua bulanan lalu masih bisa kita beli dengan Rp 12.500 sekilonya, sekarang harganya sudah Rp 17.000.
Bisa dimaklumi kalau media sosial juga ikut heboh membahas soal naiknya harga beras. Ndilalah, naiknya juga selepas Pemilu, setelah pemerintah menggelar bansos paket sembako dengan cukup masif, jadi wajar saja kalau ada yang memgendus kenaikan harga beras akibat bansos.
Namun terlepas dari itu, kita juga sepertinya karib dengan siklus tahunan di mana harga-harga komoditi pokok penting seperti beras, telur, gula, dan lainnya cenderung naik harga menjelang puasa.
“Kalau cuaca mulai panas menyengat, terus harga-harga di pasar mulai naik, maka artinya bulan puasa segera tiba. Jadi, cuaca sama harga itu tanda-tanda alam bahwa kita akan memasuki bulan ramadan, fix no debat”. Begitu ucap emak-emak muda yang masih hobi scroll beranda media sosialnya.
Kesimpulannya, paling tidak cuaca dan harga komoditas dapur bagi emak-emak jauh lebih jujur. Coba sih rasakan sengatan matahari di siang hari akhir-akhir ini, panasnya memang serius pakai banget. Dan ini panas yang khas, mengingatkan orang akan perjuangan menahan lapar, dahaga, dan emosi di siang ramadan. Kata orang, inilah aroma menjelang puasa yang dirindukan.
“Nek panase koyo ngene, berarti pancen wulan poso meh tekan,” celetuk emak-emak penjual pecel di Noyontaan.
Intinya, Ramadhan 1445 H sudah di depan mata, bulan yang dirindukan ini segera tiba, maka selamat merasakan aroma puasa sebelum benar-benar berpuasa. (*)
One Comment