Nikmatnya Memaki Kegelapan (2)
MOZAIKMU – Ya, kadang kita amat fasih menguliti sebuah realitas buruk/gelap, bahkan sambil memakinya. Saking asyiknya memaki kegelapan, kita lupa sekadar menyalakan lilin untuk menerangi yang gelap.
Tentang politik misalnya, siapa yang tak fasih menggunjingkannya. Ihwal dunia politik di negeri ini yang koruptif, elitis, transaksional, segala tentang politik dianggap buruk dan gelap, seperti septic tank: kotoran semua.
Problemnya, gelapnya politik ini lantas seperti membunuh harapan setiap kita. Ketika ada orang baik memilih meretas jalan politik, tak sedikit yang mencibir, nyinyir. Pun Ketika mendukung, kita tak benar-benar serius dan all-out.
Bandingkan dengan para politisi yang kita vonis buruk, kerja-kerja politik mereka justru lebih totalitas. Bahkan meski sebagian dari cara itu mungkin dengan cara curang, faktanya mereka lebih terorganisir.
Sebuah kejahatan yang dirancang dan dieksekusi lebih terorganisir, ia akan mengalahkan kebaikan yang tak diorganisir, begitu kata Imam Ali bin Abi Thalib.
Baca juga: Situasi yang Tak Sesuai Harapan (1)
Semua Memaki Kegelapan, Siapa Menyalakan Terang?
So, masihkah kita memilih fasih memaki kegelapan, tetapi enggan menyalakan cahaya? Percayalah, bahkan meskipun orang baik itu akhirnya gagal di politik, itu jauh lebih baik ketimbang kita yang hanya menyumpah-serapahi buruknya dunia politik.
Tak hanya politik, belakangan fragmen Muhammadiyah dan konsesi tambang khusus pun membuat makian kegelapan menggema. Dunia tambang terlalu kotor, terlalu gelap, semua-muanya mafia.
Aktivitas pertambangan melulu merusak lingkungan, meninggalkan lubang-lubang raksasa di Sumatra dan Kalimantan. Praktik tambang selalu menyisakan konflik sosial bagi masyarakat sekitar, memperlebar jurang kesenjangan sosial. Dengan pengetahuan tersebut, betapa mudahnya untuk memaki kegelapan kan?
Sebagian besar masyarakat Indonesia juga bukan tak tahu fakta itu, maka apalagi Muhammadiyah kan? Kalau sudah tahu ini wilayah kotor, kenapa Muhammadiyah nekat menerima tawaran pemerintah? Begitu mungkin pertanyaan paling logis sebagai reaksi atas keputusan Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Jogja.
Masalahnya, kalau wilayah yang kotor itu serta merta dijauhi, artinya kita membiarkan dunia tambang selamanya gelap dan kotor. Lantas Ketika Muhammadiyah berijtihad untuk mencoba menyalakan terang di dunia tambang, kita ramai-ramai mengkritik, menghujat, dan men-judge dengan ini dan itu.
Kenapa kita tidak coba memperkaya informasi dan persepsi, mendialektikakan sudut pandang untuk melihat kasus Muhammadiyah dan tambang? Kenapa harus bersembunyi dalam doktrin “pokoke”? Kenapa menghukum Muhammadiyah sebelum berbuat?
Kenapa alih-alih memberi kesempatan, sebagian kita justru memilih mengkampanyekan ketakutan dan kekhawatiran. Kalau Muhammadiyah yang kita Yakini masih punya basis moral saja kita tentang, pertanyaannya: siapa yang layak untuk mengelola tambang?
Atau jangan-jangan, kita sudah tak adil sejak dalam pikiran, sehingga memilih hanya fokus memaki kegelapan. Alam Bawah sadar kita mungkin menuntun pada harapan: Birlah dunia tambang yang gelap itu tetap gelap, tetap kotor, tetap merusak, tetap seperti sebelum-sebelumnya. Biarkan tambang menjadi milik mereka, bukan kita.
Saudaraku, berharap dunia akan membaik hanya dengan memaki kegalapan adalah naif. Maka dari pada menghukum Muhammadiyah dan ormas keagamaan lain sebelum mereka melakukan, kenapa tidak kita beri kesempatan Muhammadiyah untuk mencoba menyalakan lilin.
“It is better to light a candle than curse the darkness” – Eleanor Roosevelt. Tabik! []